Blora, Infoseputarpati.com – Kasus HIV/AIDS di Kabupaten Blora tercatat masih 145 kasus di tahun 2025 ini.
Jumlah tersebut menurun dibandingkan tahun 2024 yang mencapai 212 kasus. Dari total kasus tahun 2025, 21% merupakan pendatang, dan 58% berasal dari kelompok usia produktif 25–49 tahun.
Wakil Bupati Blora, Sri Setyorini mengatakan bahwa penanganan HIV tidak boleh kendor.
“Angka-angka ini memberi pesan jelas bahwa penanganan HIV tidak boleh kendor. Kita harus terus memperkuat pengawasan, memperluas edukasi, mendorong deteksi dini, memastikan keberlanjutan pengobatan, dan menciptakan lingkungan yang bebas stigma,” tegasnya.
Wakil Bupati memberikan apresiasi setinggi-tingginya kepada seluruh tenaga kesehatan, relawan, komunitas peduli HIV, serta para pemangku kepentingan yang telah bekerja keras selama ini.
“Perjuangan ini tidak bisa dilakukan oleh satu pihak saja. Dibutuhkan kolaborasi lintas sektor—pemerintahan, dunia pendidikan, tokoh agama, organisasi pemuda, hingga keluarga—untuk memastikan keberlanjutan layanan dan melindungi kelompok rentan dari risiko penularan,” tambahnya.
Di kesempatan yang sama, Ketua TP PKK Kabupaten Blora, Ainia Shalichah mengajak seluruh peserta untuk tetap menjaga harapan, menguatkan diri, dan tidak merasa sendirian dalam menghadapi kondisi mereka.
Ia menegaskan bahwa setiap manusia memiliki nilai yang sama di mata Tuhan, tanpa memandang sakit atau sehatnya seseorang.
“Allah SWT tidak melihat jabatan, status, sehat atau sakitnya kita. Yang dilihat adalah hati kita dan bagaimana kita menjalani kehidupan dengan ikhlas dan tetap berusaha,” ujar Ainia di hadapan para penyintas.
Ia juga mengapresiasi keteguhan hati para peserta dalam menjalani pengobatan dan proses pendampingan. Menurutnya, perjalanan hidup yang penuh ujian justru dapat menjadi ruang untuk tumbuh lebih kuat dan bermanfaat bagi orang lain.
“Kita semua memiliki perjalanan yang berbeda, tetapi saya yakin hati yang bersih akan selalu diterima di sisi Allah. Tetaplah kuat, tetaplah berharap. Hari ini kita berkumpul untuk saling menguatkan,” lanjutnya.
Ainia menekankan pentingnya menjaga keberlanjutan layanan HIV, termasuk akses obat, layanan konseling, hingga pendampingan psikososial. Ia mendorong seluruh pihak—pemerintah daerah, tenaga kesehatan, komunitas pendamping, hingga keluarga—untuk terus memastikan bahwa penyintas HIV mendapatkan layanan tanpa diskriminasi.
“Organisasi dan komunitas harus menjadi wadah yang aman dan inklusif. Tempat kita saling berbagi, saling mendengarkan, dan saling menguatkan,” ungkapnya. (*)







