Infoseputarpati.com – Kasus kekerasan di DIY masih tinggi. Dimana ada 1.326 pengaduan pada tahun 2024 dan 606 laporan pada semester I tahun 2025.
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Pengendalian Penduduk (DP3AP2) DIY, Erlina Hidayati mengatakan bahwa jumlah tersebut belum mencerminkan kondisi di lapangan karena dinilai masih banyak korban yang tidak melapor.
“Angka ini belum mencerminkan kondisi sebenarnya karena banyak korban yang tidak melapor akibat ancaman, rasa malu, atau relasi kuasa dengan pelaku,” tandasnya.
Menurutnya, tantangan terbesar dalam penanganan kasus kekerasan bukan hanya pada penyediaan layanan, tetapi juga pada keberanian korban untuk melapor ke layanan maupun kepolisian. Relasi kuasa yang kuat dari pelaku kerap membuat korban takut. Karena itu, masyarakat diimbau aktif memberikan dukungan dan tidak menyalahkan korban.
“Kami berharap nilai budaya Yogyakarta yang menjunjung adab dan keberadaban dapat menjadi fondasi kuat untuk menekan angka kekerasan. Sebagai Jogja Istimewa, kita harus memastikan masyarakatnya berbudaya dan menghargai martabat sesama,” imbuh Erlina.
Oleh karena itu, Pemda DIY berharap seluruh pihak terus memperkuat kolaborasi dalam upaya pencegahan kekerasan. Korban membutuhkan pemulihan jangka panjang, dan pelaku harus melalui proses hukum.
Wakil Gubernur DIY, KGPAA Paku Alam X, yang mewakili Gubernur DIY menegaskan bahwa kekerasan terhadap perempuan dan anak merupakan masalah serius yang membutuhkan kepedulian kolektif. Menurutnya, pencegahan harus dilakukan secara berkelanjutan dan tidak hanya berhenti pada momentum peringatan tahunan.
“Bentuk kekerasan semakin beragam dan kompleks. Selain kekerasan fisik dan psikis, kekerasan berbasis gender online (KBGO) juga semakin marak. Di era digital, kita harus memastikan rasa aman tidak hanya di ruang nyata, tetapi juga di ruang maya,” tegas Sri Paduka.
Sri Paduka juga menyoroti semakin aktifnya perempuan di ruang publik. Namun, di balik meningkatnya partisipasi tersebut, ancaman kekerasan masih menghantui, mulai dari pelecehan di tempat kerja, intimidasi di ruang publik, hingga penyalahgunaan identitas dan gambar pribadi di media sosial. Kondisi itu dinilai dapat menghambat perempuan untuk berkembang secara aman dan setara.
“Masyarakat memiliki tanggung jawab moral untuk memastikan ruang publik tetap aman bagi semua. Ruang publik harus menjadi tempat tumbuhnya partisipasi, bukan ketakutan. Anak-anak dan remaja juga menghadapi tekanan baru dari budaya digital yang mengutamakan pencitraan,” tandasnya. (*)







