Pemilik Kapal di Juwana Utang Renternir setelah Harga Ikan Anjlok

Pati, Infoseputarpati.com – Para nelayan mengeluh anjloknya ikan yang mencapai 50 persen lebih. Hal ini disampaikan oleh nelayah di Kecamatan Juwana, Kabupaten Pati.

Bahkan harga tersebut tidak dapat menutupi biaya operasional ketika melaut. Alhasil nelayan pun berutang kepada saudara bahkan renternir.

Prihadi, salah satu nelayan dari Kampung Nelayan Desa Bendar mengungkapkan bahwa harga ikan hasil tangkap dengan alat jaring tarik berkantong (JTB) beberapa minggu ini terus mengalami penurunan.

Ia berharap pemerintah dapat memberikan solusi kepada para nelayan.

“Seperti Ikan demang, ikan munir, sama ikan abangan, misalnya abangan waktu itu Rp 14 ribu per kilo sampai Rp 15 ribu sekarang menjadi Rp 5 ribu, hampir semua yang turun, turunnya lebih 50 persen,” kata Prihadi kepada detikJateng ditemui di TPI Unit 1 Juwana Pati, Jumat (7/6/2024).

“Harga rata-rata jenis ikan semula Rp 10 ribu sampai Rp 12 ribu, sekarang menjadi Rp 4 ribu sampai Rp 5 ribu saja,” terang dia.

Prihadi menjelaskan harga itu tidak bisa menutupi biaya operasional yang dikeluarkan ketika melaut. Alhasil, banyak pemilik kapal yang harus meminjam utang kepada kerabat dan renternir untuk menggaji anak buah kapal.

“Sementara untuk menutup kerugian pemilik kapal harus utang ke kerabat bahkan ke rentenir untuk menggaji ABK yang ikut melaut,” jelas Prihadi.

“Dan beberapa kapal memutuskan untuk tidak melaut saat ini karena harga hasil tangkap yang terus menurun,” imbuh dia.

Lebih lanjut, Prihadi berharap agar pemerintah dapat memperhatikan nasib nelayan. Bukan hanya fokus terhadap tangkap dan pajaknya.

“Kami meminta bersama mencari jalan keluarnya, kepala seluruh pemangku kepentingan terutama Kementerian Kelautan dan Perikanan, kami berharap tidak hanya fokus pada aturan tangkap dan PNBP di sektor tangkap saja, tetapi tolong dipikirkan juga pascatangkapnya terutama terkait dengan kestabilan harga ikan,” harap Prihadi.

Sementara itu, Ketua Asosiasi Nelayan Mina Santosa, Jasiman mengungkapkan bahwa biaya operasional mencari ikan memang tidak sebanding dengan harga ikan.

“Hampir 100 persen dari jumlah anggota kami yang mengajukan izin keberangkatan, semuanya tidak menutupi biaya operasional selama musim tangkap. Saat ini kondisi yang dihadapi oleh nelayan bukan harga yang murah tetapi juga meningkatkan biaya produksi. Seperti harga solar dan harga-harga logistik lainnya. Ini berbanding terbalik dengan harga ikan tangkap nelayan,” beber dia.

“Selain itu juga tidak adanya posisi tawar di pihak nelayan. Hal ini disebabkan oleh fasilitas penangkapan yang menggunakan es batu, jadi mau tidak mau suka tidak suka nelayan harus menjual ikan sesuai dengan harga dari bakul atau pembeli, karena kalau tidak dijual harga tersebut maka kualitas tangkap semakin menurun ikannya membusuk,” imbuh dia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *