Infoseputarpati.com – Rezaki merupakan suatu hal yang patut disyukuri oleh setiap manusia. Baik itu dalam bentuk kesehatan, harta, uang, waktu, dan lain sebagainya.
Sebagai umat Islam, kita diwajibkan untuk melakukan bersedekah, memberikan rezeki bagi orang yang membutuhkan.
Hal ini sesuai dengan dalam surat Ali-Imran ayat 92,
“Kamu tidak sekali-kali akan dapat mencapai (hakikat) kebajikan dan kebaktian (yang sempurna) sebelum kamu dermakan sebagian dari apa yang kamu sayangi. Dan sesuatu apa juga yang kamu dermakan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.”
Namun, terlepas dari kebaikan bersedekah sebagian dari kita mungkin masih bingung kepada siapa sedekah itu diberikan.
Penerima sedekah yang lebih utama
Imam Nawawi dalam kitabnya Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzab, ulama telah sepakat bahwa bersedekah kepada sanak famili lebih utama.
Hal tersebut berlandaskan pada hadis riwayat Imam Bukhari dari Abu Said al-Khudri, kerabat atau sanak saudara adalah orang paling utama yang mendapatkan sedekah.
Dalam hadis tersebut bercerita, suatu hari selepas shalat Idul Adha atau Idul Fitri, Rasulullah memberikan petuah kepada masyarakat untuk bersedekah.
“Wahai para wanita sekalian, bersedekahlah! Sebab aku itu melihat mayoritas dari kalian adalah penghuni neraka!”.
Selepas berkhotbah, Rasulullah memutuskan untuk pulang ke kediamannya. Kemudian, Zainab istri Abdullah bin Mas’ud mendatanginya dan mengutarakan niatnya untuk bersedekah.
“Ya Rasul. Tadi Anda menyuruh untuk bersedekah hari ini. Ini saya punya perhiasan. Saya ingin mensedekahkan barang milikku ini. Namun Ibnu Mas’ud (suamiku) mengira bahwa dia dan anaknya lebih berhak saya kasih sedekah daripada orang lain.”
Rasul pun menegaskan, “Memang benar apa yang dikatakan Ibnu Mas’ud itu. Suami dan anakmu lebih berhak diberikan sedekah daripada orang lain.” (HR. Bukhari: 1462)
Sementara menurut Syekh Zainuddin Al-Malyabari dalam kitabnya Fathul Mu’in mengutarakan ada urutan skala prioritas pemberian sedekah.
“Memberikan sedekah sunnah kepada kerabat yang tidak menjadi tanggung jawab nafkahnya itu lebih utama. Baru kemudian kerabat paling dekat berikutnya, berikutnya yang bersumber dari keluarga yang haram dinikah (mahram), suami/istri, kemudian kelurga non-mahram, keluarga dari ayah ibu, mahram sebab sepersusuan, berikutnya adalah mertua.” (Zainudin Al-Malyabari, Fathul Muin, [Dar Ibnu Hazm, cetakan I], halaman 257)
Dari uraian tersebut, Imam Nawawi memberikan catatan menarik yang mengutip dari ashabus Syafi’i bahwa skala prioritas sebagaimana urutan-urutan di atas semestinya tetap harus mempertimbangkan tentang kemampuan finansial penerima. Artinya keluarga yang masuk kategori mustahiq zakat lebih utama untuk didahulukan daripada orang lain.
“Menurut sahabat-sahabat kami, disunnahkan pada sedekah yang sunnah, zakat, kaffarah untuk diterimakan kepada sanak kerabat jika memang mereka adalah orang yang masuk kategori mustahiq zakat. Jika mereka masuk kategori tersebut, lebih utama daripada diberikan kepada orang lain.” (An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzab, [Dârul Fikr], juz 6, halaman 220). (fp)







