Infoseputarpati.com – Pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi turut memberikan tanggapan terkait dengan rencana pengalihan impor minyak mentah ke Amerika Serikat dari yang sebelumnya dari Singapura.
Wacana ini sebelumnya disampaikan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia.
Hal tersebut dilakukan sebagai bentuk negosiasi agar tarif ekspor Indonesia yang dibebankan AS dapat menurun sebesar 32 persen.
Fahmi Radhi menjelaskan pengalihan impor minyak ke AS memang dapat mengatasi defisi neraca perdagangan Amerika.
“Namun berpotensi menimbulkan masalah baru bagi Indonesia. Impor minyak mentah dari AS belum tentu sesuai dengan kilang minyak Pertamina untuk menghasilkan BBM. AS belum tentu mampu menyediakan impor Pertalite, yang harus blending, karena tidak dijual di AS,” kata Fahmy dalam keterangan resmi, dikutip dari Detik Finance pada Selasa (13/5/2025).
Ia menilai harga impor minyak mentah seharusnya lebih mahal daripada harga minyak ke Singapura, sebab biaya operasionalnya juga mahal.
Fahmy menyebut mafia migas akan menghalangi pengalihan impor karena selama ini memburu rente impor BBM dari Singapura.
“Kalau Bahlil memaksakan untuk tetap mengalihkan impor minyak dari Singapura ke AS, pemerintah harus memastikan bahwa spesifikasi minyak mentah sesuai dengan kilang Pertamina dan AS bisa melakukan blending untuk menghasilkan Pertalite,” tambahnya.
“Harga impor AS minimal harus sama dengan harga impor dari Singapura. Pemerintah harus bertekad untuk memberantas mafia migas yang akan menghalangi pengalihan impor dari Singapura ke AS. Tanpa berbagai upaya tersebut, kebijakan alihkan impor minyak akan mengatasi defisit neraca perdagangan AS, tetapi juga akan menimbulkan masalah baru. Kebijakan Pemerintah seharusnya mengatasi masalah tanpa menimbulkan masalah baru,” ujar dia. (*)