Hukum Membawa Tanah Haram dari Makkah dan Madinah

Infoseputarpati.com – Apakah kamu pernah mendengar frasa tanah haram? Beberapa orang memang terasa asing akan keberadaannya.

Tanah haram sendiri merupakan wilayah Kota Makkah dan Madinah yang telah dibatasi dengan batas tertentu.

Kedua kota tersebut adalah kota yang kesuciannya diagungkan oleh Allah SWT. Di sana, dilarang membunuh, menzalimi, berburu, hingga menebang pohon.

Karena keistimewaan tersebut, mungkin ada yang bertanya. Apa hukum membawa pulang tanah haram?

Dilansir dari NU Online, ada perbedaan pendapat di kalangan ulama. Beberapa ulama menyatakan haram dan wajib mengembalikan ke tempat asalnya. Namun ada juga yang memakruhkan.

Hal ini sesuai dengan kitab Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah sebagai berikut:

 

صَرَّحَ الشَّافِعِيَّةُ بِحُرْمَةِ نَقْل تُرَابِ الْحَرَمِ وَأَحْجَارِهِ وَمَا عُمِل مِنْ طِينِهِ – كَالأَْبَارِيقِ وَغَيْرِهَا – إِِلَى الْحِل، فَيَجِبُ رَدُّهُ إِِلَى الْحَرَمِ، وَنُقِل عَنْ بَعْضِ الشَّافِعِيَّةِ كَرَاهَتُهُ

Artinya: “Madzhab Syafi’iyah menjelaskan tentang keharaman memindahkan tanah atau debu dan bebatuan Tanah Haram dan apapun yang dibuat dengan tanah liat Tanah Haram seperti kendi dan selainnya ke tanah halal, dan wajib mengembalikannya ke Tanah Haram. Dikutip dari sebagian ulama Madzhab Syafi’iyah tentang kemakruhannya.”

 

قَال الزَّرْكَشِيُّ فِي إِعْلاَمِ السَّاجِدِ: يَحْرُمُ نَقْل تُرَابِ الْحَرَمِ وَأَحْجَارِهِ عَنْهُ إِِلَى جَمِيعِ الْبُلْدَانِ، وَهَذَا هُوَ الأَْصَحُّ وَاَلَّذِي أَوْرَدَهُ الرَّافِعِيُّ كَرَاهَتُهُ

Artinya: “Imam Az-Zarkasi dalam kitabnya I’lamu as-Sajid berkata: “Haram hukumnya memindah tanah atau debu dan bebatuan Tanah Haram ke seluruh negeri. Dan ini adalah pendapat yang lebih shahih. Adapun pendapat yang dinyatakan Imam Rafi’i adalah makruh.”

 

وَعِنْدَ الْحَنَفِيَّةِ أَنَّهُ لاَ بَأْسَ بِإِِخْرَاجِ أَحْجَارِ الْحَرَمِ وَتُرَابِهِ، نَقَلَهُ الشَّافِعِيُّ فِي الأُْمِّ، وَهُوَ الْمَنْقُول عَنْ عُمَرَ وَابْنِ عَبَّاسٍ، لَكِنَّهُمَا كَرِهَاهُ

Artinya: “Menurut Madzhab Abu Hanifah tidak masalah mengeluarkan bebatuan dan tanah atau debunya Tanah Haram. Pendapat ini dinukil Imam Syafi’i dalam kitab Al-Um, pendapat ini juga adalah pendapat yang dinukil dari sahabat Umar dan Ibnu Abbas akan tetapi keduanya menilai makruh hal tersebut.”

وَذَهَبَ الْحَنَابِلَةُ إِِلَى أَنَّهُ لاَ يُخْرَجُ مِنْ تُرَابِ الْحَرَمِ، وَلاَ يُدْخَل إِلَيْهِ مِنَ الْحِل، وَلاَ يُخْرَجُ مِنْ حِجَارَةِ مَكَّةَ إِِلَى الْحِل، وَالإِِْخْرَاجُ أَشَدُّ فِي الْكَرَاهَةِ

Artinya: “Mazhab Hanabilah berpendapat bahwa tidak boleh mengeluarkan tanah atau debunya Tanah Haram, dan tidak boleh juga memasukkan tanah halal ke Tanah Haram. Tidak diperbolehkan juga mengeluarkan bebatuan Makkah ke tanah halal, hukum mengelurkannya lebih-lebih dalam kemakruhan,” (Kementrian Waqaf, Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, [Kuwait, Darus Salasil: 1427 H], juz 17 halaman 195-196).

Sedangkan Syekh Wahbah az-Zuhaili menyatakan pendapat yang mu’tamad menurut mayoritas ulama Madzhab Sya’fiiyah adalah makruh memindahkan tanah, debu, bebatuan ataupun perabot yang terbuat dari tanah liat Tanah Haram.

Namun Imam An-Nawawi menghukumi Haram dan wajib dikembalikam ke tempat asalnya.

 

والمعتمد عند أكثر الشافعية كراهة ذلك، والأصح عند النووي التحريم

Artinya: “Pendapat yang mu’tamad menurut mayoritas Syafi’iyah adalah makruh. Sedangkan menurut Imam An-Nawawi hukumnya Haram.” (Wahbah bin Musthafa az-Zuhaili, Al-Fiqhul Islami Wa Adilatuh, [Damaskus, Darul Fikr: 1418 H], juz III, halaman 2392).

Asy Syarwani dalam kitabnya Hawasyi asy-Syarwani yang merupakan komentar atas kitab Tuhfatul Muhtaj karangan Ibnu Hajar menjelaskan sebagai berikut.

 

قَوْلُهُ: فَيَلْزَمُهُ رَدُّهُ إلَخْ أَيْ فَإِنْ لَمْ يَفْعَلْ فَلَا ضَمَانَ؛ لِأَنَّهُ لَيْسَ بِنَامٍ فَأَشْبَهَ الْكَلَأَ الْيَابِسَ نِهَايَةٌ قَالَ ع ش قَوْلُهُ: م ر فَأَشْبَهَ الْكَلَأَ إلَخْ أَيْ فِي مُجَرَّدِ عَدَمِ الضَّمَانِ

 

Artinya, “Perkataan mushanif: “Maka ia harus mengembalikannya”. Yakni, maka apabila tidak melakukannya tidak ada dhoman (tanggungan pertanggungjawaban) karena hal tersebut (tanah, debu dan batu) bukanlah perkara yang bertumbuh kembang. Maka dalam hal ini menyerupai rumput kering. Ini adalah ungkapan Imam Ali As-Syibromalisi. Ungkapan Imam Ramli: “Menyerupai rumput” yakni, dalam tidak adanya dhoman belaka,” (Abdul Hamid Asy Syarwani dan Ahmad bin qosim, Hawasyi asy Syarwani Syarah Tuhfatul Muhtaj, [Bairut, Darul Ihya’ Thurots: th.t], juz IV halaman 194).

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *