Infoseputarpati.com – Deflasi yang terjadi saat ini disebut yang terpanjang setelah era reformasi 98. Bahkan deflasi ini sudah terjadi selama lima bulan beruntun.
Perlu diketahui, Deflasi adalah penurunan harga barang dan jasa di suatu wilayah. Fenomena ini terjadi karena penurunan jumlah uang yang beredar, yang mengakibatkan daya beli masyarakat menurun.
Hal ini pun menyebabkan daya beli masyarakat yang menurun dan akan berdampak buruk pada pertumbuhan ekonomi.
“Nah, ini memang satu, supply-nya karena musim hujan, musim panas, produksinya cukup. Kedua, memang diakui daya beli agak turun,” kata dia ditemui di sela Trade Expo Indonesia, ICE BSD, Tangerang, Rabu (9/10/2024) lalu.
Diketahui bahwa Deflasi terjadi sejak Mei-September 2024. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pada Mei 2024 terjadi deflasi sebesar 0,03% secara bulanan (mtm). Kemudian pada Juni 2024 semakin dalam sebesar 0,08%. Pada Juli 2024 terus memburuk tembus 0,18%. Pada Agustus 2024, angkanya kembali ke level 0,03%, kembali memburuk pada September 2024 sebesar 0,12%.
Dalam hal ini, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengungkapkan bahwa jika masalah ini tidak segera diatasi dikhawatirkan dapat memicu pemutusan hubungan kerja (PHK)
“Pelaku usaha sebagian memahami deflasi sebagai kekhawatiran permintaan ke depan khususnya barang non kebutuhan pokok akan melemah. Sehingga mereka lakukan efisiensi di berbagai lini,” kata Bhima.
Bhima lalu mengatakan akan ada penyesuaian nilai proyek dan penundaan proyek mendatang karena dana akan digunakan untuk membantu daya beli masyarakat.
“Sebaiknya panggil para ahli untuk cari solusi atau mitigasi. Pelaku usaha juga diajak mempersiapkan skenario terburuk sehingga lakukan hedging atau lindung nilai lebih baik,” jelasnya.
Ia pun menyarankan agar ada solusi misalnya menunda mega proyek lalu dialihkan pada perlindungan sosial kelas menengah rentan.
Selain itu, mendorong sektor industri, pertanian dan perikanan berkelanjutan dengan bantuan APBN yang lebih besar seperti memberikan bantuan pupuk subsidi, dan mengurangi PPN.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal. Ia menyebut penurunan daya beli juga akan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.
“Terkait pertumbuhan ekonomi, kita prediksi tumbuh di bawah 5%. Jadi, sekitar 4,95%. Ini tidak lepas dari pertumbuhan konsumsi rumah tangga. Karena konsumsi rumah tangga ini kan lebih separuh menyumbang ekonomi. kalau kelas menengah akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi jadi lebih lambat,” beber dia.
“Pemerintahan baru harus memperhatikan masalah ini secara serius. Karena boro-boro mengejar pertumbuhan ekonomi 8%, untuk di atas 5% saja dikhawatirkan tidak bisa kalau kondisinya begini,” imbuh Faisal. (*)